Sabtu, 11 April 2015

Perjuangan Jepang dalam memerdekakan Indonesia


Perjuangan Jepang dalam memerdekakan Indonesia,
karena merdeka milik semua orang

"Tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso, memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia untuk menarik simpati rakyat, selain itu setiap kantor diperkenankan mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera Jepang".

Setelah para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan berdirinya Republik Indonesia, dan kemudian pada 18 Agustus mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden serta Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden, dirasakan perlunya republik yang baru ini memiliki tentara atau pasukan untuk pertahanan Negara dan kepolisian untuk menjaga keamanan, ketertiban dan ketenteraman. Untuk pembentukan organisasi bersenjata Republik Indonesia timbul perbedaan pendapat yang hangat. 


Lambang Pembela Tanah Air
Kelompok pemuda revolusioner menginginkan bahwa Peta, Heiho dan Gyugun yang dibentuk oleh Jepang, menjadi basis dari Angkatan Perang Republik Indonesia. Namun para pemimpin lain kuatir, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia akan menimbulkan konflik dengan tentara Sekutu, yang diperkirakan akan segera tiba di Jakarta. 

Akhirnya sebagai jalan tengah, pada 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk suatu badan yang dinamakan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Kemudian di dalam tubuh BPKKP, dibentuk organisasi yang dipersenjatai, yang dinamakan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Memang sesuatu yang unik, yaitu organisasi bersenjata berada di dalam tubuh suatu organisasi sosial. 

Setelah dikeluarkan pengumuman mengenai pembentukan Komite Nasional Indonesia-Pusat (KNI-P) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR), segera dikeluarkan seruan, agar di daerah-daerah di seluruh Indonesia dibentuk Komite Nasional Indonesia-Daerah (KNI-D) dan BKR. Pada 23 Agustus 1945 Presiden Sukarno menyerukan kepada semua bekas Peta dan Heiho untuk menggabungkan diri ke dalam BKR. Sejak itu, di seluruh wilayah bekas India Belanda dibentuklah KNI-D dan BKR. Pembentukan BKR banyak dipelopori oleh mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Seinendan, keibodan, bekas KNIL, dan tokoh-tokoh masyarakat serta para intelektual. Badan Keamanan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 4 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengumumkan berdirinya Tentara Rakyat Indonesia (TRI), dan pada 3 Juli 1947, namanya diganti menjadi Tentara Nasional Indonesia, sampai sekarang.

Fakta menunjukkan  Setelah tercapai kemenangan, Britania mengeluarkan perintah terselubung kepada pasukan-pasukan Jepang agar menjaga “law and order”, aturan dan ketertiban, di seluruh Indonesia sampai pasukan Sekutu tiba. Sesudah itu para panglima tentara Britania tidak ragu memanfaatkan tentara Jepang untuk menghadapi orang Indonesia. dan pihak Jepang pun tidak mungkin lebih patuh lagi dalam memikul beban mereka itu. Mereka langsung bertindak di banyak tempat atas nama Britania dan Belanda, dan di Bandung mereka menggunakan artileri serta menyerang pihak Indonesia dengan tank. Pada 27 November, waktu menyingkirkan pejuang Indonesia dari suatu kota dekat Semarang, pihak Jepang mengirimkan pujian ke kapal H.M.S. Sussex terkait dengan sangat jitunya bidikan-bidikan mereka.
Kapal H.M.S Sussex
Pada 10 Desember, di Sumatra mereka minta izin hadir dalam acara pemakaman seorang mayor Britania dan seorang perempuan petugas Palang Merah yang mati ditembak oleh pihak Indonesia.



1. Ichiki Tatsuo
Ichiki Tatsuo lahir di kota kecil Taraki, prefektur Kumamoto, bagian selatan Kyushu. Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ketika kecil, orangtuanya bercerai, dia ikut ibunya. Ichiki dibesarkan saat Jepang berada pada masa transisi. Kebebasan dan demokrasi selama zaman Taisho (1912-1926) mulai tergerus oleh tekanan militer pada masa Showa (1926-1989). Banyak pemuda desa seperti juga Ichiki bercita-cita mencari kehidupan baru di Amerika Selatan atau Samudra Pasifik bagian selatan, yaitu Asia Tenggara.

Kesempatan itu pun datang. Datang surat dari teman sekampung, Tsuruoka Kazuo, yang sukses mendirikan toko kelontong –dikenal dengan sebutan toko Jepang– di kota Pagar Alam, dekat Palembang, Sumatra Selatan. Isinya: mengundang Ichiki untuk datang dan bekerja di studio foto Miyahata di Palembang. Saat itu Ichiki berusia 21 tahun. Dia meninggalkan bangku sekolah menengah sebelum lulus dan magang di sebuah studio foto, dekat kampungnya. Pada 22 Januari 1928, Ichiki pun berangkat.

"Dia bermimpi menjalankan studio foto terbesar di Samudra Pasifik bagian selatan," tulis Goto dalam “Life and Death of Abdul Rachman (1906-49): One Aspect of Japanese-Indonesian Relationships," Indonesia, Vol 22, 1976.

Pada 1933, Ichiki datang ke Bandung karena saudara mudanya, Naohiro yang menyusulnya pada akhir 1929, meninggal dunia. Ichiki tak kembali ke Palembang tapi tetap di Bandung dan bekerja di studio foto. Merasa tak nyaman, dia jadi kondektur bus. Tak cocok, dia meninggalkan pekerjaan ini dan tinggal di rumah Iti, perempuan dari keluarga miskin di sebuah kampung di Sumedang. Dia menemukan kedamaian, bahkan merasa hampir sepenuhnya sebagai orang Indonesia. "Ini adalah kelahiran baru Ichiki Tatsuo," tulis Kenichi.

Dalam kehidupan keras di kampung ini, Ichiki memupuk pengetahuan bahasa Indonesia sampai dia menyusun kamus Indonesia-Jepang. Ichiki tetap mengikuti perkembangan politik di Jepang. Untuk itu, dia sering pergi ke Klub Jepang di Bandung. Dia juga melahap koran dan majalah JepangTerkadang dia menerjemahkan artikel bertopik semangat Jepang Bushido lalu menjualnya koran-koran lokal.

Machida Taisaku, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Ichiki ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Kubo Tatsuji, advokat pendukung Asianisme. Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, yang menganggap Jepang sebagai ancaman, meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan Ichiki dan kawan-kawannya.

Koran zaman Nippon
Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih kongkret, Ichiki kembali ke Tokyo. Tapi sebelum berangkat ke Indonesia, dia menerima telegram dari Belanda di Batavia yang melarangnya masuk kembali ke Jawa karena kegiatan anti-Belandanya. Ichiki pun bekerja sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat.

Pada 1940-an, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda secara bertahap memperkuat embargo ekonominya kepada Jepang. “Hal ini bahkan mengakibatkan semakin pentingnya arti Indonesia bagi Jepang. Pada saat itu, pemimpin-pemimpin Jepang mulai membicarakan secara terang-terangan ‘pembebasan’ Indonesia,” tulisnya Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Pada masa ini, Ichiki berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang kemerdekaan Indonesia yang secara diam-diam dikirim ke Jepang oleh teman Jepangnya, seperti Machida Taisaku and Sato Nobuhide. "Ichiki dan Hassan akan menghabiskan berjam-jam dengan antusias berbicara tentang hari esok rakyat Indonesia setelah mereka dibebaskan," tulis Kenichi.

Setelah menggulingkan Belanda pada Maret 1942, Jepang disambut dengan suka cita sebagai Saudara Tua. Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Jepang segera melarang berbagai aktivitas politik. Ichiki pun kecewa.

Pada sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) awal 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo menyebutkan akan memberikan kemerdekaan bagi Filipina dan Burma di akhir tahun 1943, tapi Indonesia tidak disebut. Sekali lagi, Ichiki frustasi dan lambat-laun membenci negerinya sendiri.

Pada Oktober 1943, Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) –kelak menjadi inti dari angkatan bersenjata Indonesia. Ichiki bekerja sebagai petugas paruh waktu di Divisi Pendidikan Peta di Bogor. Dia membangun sebuah rumah terpencil di perkebunan karet dan menyebut dirinya –karena kulitnya agak gelap– "gagak dari Bogor." Pekerjaannya menerjemahkan manual tentara Jepang seperti Rikugun Hohei Soten (Manual Infantri) dan menjadi editor majalah Heiho, Pradjoerit. Melalui karyanya, dia merasa masih bisa melayani masyarakat Indonesia. Ichiki juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Asia Raya.

Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Ichiki. Jepang, yang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso, pengganti Tojo, berjanji memberikan "kemerdekaan Indonesia di kemudian hari" pada 7 September 1944, mengingkari dan mematuhi perintah Sekutu, serta menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan Indonesia. Ichiki merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua kali: pada awal dan akhir pendudukan.

Di hari Jepang menyerah, Ichiki menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta bertekad untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi barunya, Republik Indonesia, bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi sebagai pemuda Abdul Rachman (Berganti nama). Nama Abdul Rachman diberikan oleh H. Agus Salim ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan Peta, sebagai bentuk penghargaan kepadanya yang memihak Republik.

Pada masa perang kemerdekaan, Abdul Rachman memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur, yang disegani Belanda. Pasukan yang dibentuk pada 1948 ini merupakan satuan khusus di bawah militer Indonesia yang beranggotakan sekira 28 orang tentara Jepang yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut zanryu nihon hei (Prajurit yang tinggal di belakang).

Pada 9 Januari 1949, desa terpencil Dampit dekat Malang, Jawa Timur, yang merupakan salah satu medan pertempuran paling sengit, menjadi akhir riwayat sang samurai. Abdul Rachman berlari ke depan melawan arus peluru Belanda untuk mendorong pasukan Indonesia, yang mulai ragu melihat kekuatan Belanda, agar menyerang. Alhasil, beberapa peluru Belanda menembus dahinya.

Pada 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro. 
Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno."

2. Laksamana Meida 
LaksamanaMuda Maeda Tadashi adalah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik. Laksamana Muda Maeda adalah seorang perwira penghubung (liaison officer) Angkatan Laut dan intelijen yang berkantor di Jakarta. Rumah Laksamana Muda Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta atas saran Ahmad soebarjo menjadi tempat perumusan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada malam hari 16 sampai subuh tanggal 17 Agustus 1945.

Pada masa 1942-1945, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) bertanggung jawab atas pendudukan Hindia Belanda di Borneo (Kalimantan) dan bagian timur (Sulawesi, Sunda Kecil, Kepulauan Ambon dan Papua), sementara Angkatan Darat Tentara Ke-16 (Rikugun) bertanggung jawab atas Jawa, dan Tentara Ke-25 (Rikugun) bertanggung jawab atas Sumatera.


3. Rahmat Ono Shigeru,
Tentara Jepang terakhir di Indonesia
Rahmat Ono Shigeru sering menikmati makan malamnya yang terdiri dari mie goreng, tumis cap cay dan telor rebus.

Kini hampir seluruh hidupnya, Ono makan hidangan Indonesia dan sudah semakin terbiasa namun dengan satu syarat semuanya harus ditemani ume-boshi (buah plum kering).

"Saya kadang-kadang rindu masakan Jepang", ujar Ono.

"Papi selalu ingin makan ini", ujar anak bungsunya sambil menambahkan beberapa ume-boshi kepiring Ono.

Ono kini tinggal di rumah sederhana di Desa Sidomulyo, dekat Batu Jawa Timur.

Ono, yang memilih nama Indonesia Rahmat, merupakan salah satu dari 1,000 orang tentara Kekaisaran Jepang yang diperkirakan melakukan desersi dan tetap tinggal di Indonesia, sebagian besar menetap di Pulau Sumatra, Jawa dan Bali, setelah Jepang menyerah kepada tentara sekutu pada 15 Agustus 1945.

Mereka selanjutnya bahu membahu dengan tentara pejuang kemerdekaan Indonesia melawan tentara Belanda yang kembali ke Indonesia.

Setelah perang usai, beberapa dari mereka tidak pernah kembali ke Jepang.

"Beberapa memilih tinggal, baik karena telah mempunyai kekasih atau menikah dengan gadis Indonesia, atau hanya mencoba tetap bertahan dan berbagai alasan lainnya", ujar Hayashi Eiichi yang menulis "Zanryuu Nihon Hei no Shinjitsu", (Cerita Para Tentara Jepang yang Tetap Tinggal), buku yang menguraikan tentang kisah Ono.

Kebanyakan tentara yang tinggal di Indonesia khawatir akan menghadapi pengadilan perang atau akan diperlakukan sebagai penjahat perang bila keberadaan mereka diketahui.

"Mereka mendengar rumor bahwa bila menaiki kapal yang akan membawa ke Jepang di tengah perjalanan mereka akan di buang ke laut", ujar Hayashi, yang telah mengunjungi Ono sebanyak 80 kali untuk keperluan pembuatan bukunya.

Saat ini, tentara Jepang seperti itu dikenal sebagai Zanryu Nihon Hei (Tentara Jepang yang Tetap Tinggal). Namun dulu mereka juga pernah dikenal sebagai "Dasso Nihon Hei", Tentara Jepang yang desersi.

Menurut Hayashi, Ono merupakan salah satu diantara sedikit tentara Jepang yang terinspirasi ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Ono lahir pada 26 September 1918 di Prefektur Hokkaido, dan kehilangan lengan kanannya pada saat perang, dan kini hampir buta serta kehilangan pendengaran. Namun ia masih senang menceritakan kisahnya kepada siapapun yang mau mendengarnya.

Ketika di kirim ke Indonesia untuk bertempur, saat itu usia Ono masih awal 20 tahun dan pada masa itu dia melakukan kontak secara langsung dengan orang Indonesia yang dilatih oleh tentara Jepang.

Dari mereka, Ono mendapatkan informasi tentang perlakuan buruk yang dilakukan tentara Jepang kepada orang Indonesia dan bagaimana perasaan orang Indonesia yang dilatih tentara Jepang yang menganggap Jepang mungkin akan mengingkari janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Saat itu merupakan titik balik dalam kehidupannya, dan memotivasinya untuk bergabung dengan angkatan bersenjata Indonesia.

"Saya termotivasi untuk menjadi pejuang bersama-sama dengan tentara Indonesia karena, dalam pandangan saya, Indonesia berhak untuk dipertahankan dan saya telah membuktikan komitmen yang saya buat", ujar Ono diruang tamu rumahnya, yang dindingnya penuh dengan foto keluarga dan saat masih di kemiliteran.

Ono menikah dengan wanita Indonesia, yang menurutnya tidak melihat cacat fisik yang dideritanya namun lebih melihat pada kualitasnya sebagai manusia". Istrinya telah meninggal pada tahun 1982.

Sewaktu masa perang, Ono bergabung dengan Pasukan Gerilya Khusus yang dipimpin oleh Ichiki Tatsuo "Abdul Rahman", yang berjuang di wilayah Semeru Selatan Propinsi Jawa Timur.

Pasukan ini juga memberikan pelatihan strategi kepemimpinan dan penggunaan senjata kepada tentara Indonesia yang masih sangat seadanya.

Dengan bangga Ono menyatakan, "Pasukan Gerilya ini sangat istimewa, bahkan cukup ditakuti oleh tentara Belanda".

Namun, peran penting Ono dan mantan tentara Jepang yang membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia masih belum mendapat pengakuan dalam sejarah Indonesia.

"Kontribusi mereka tidak tercantum baik dalam buku teks sejarah Indonesia maupun Jepang", ujar Hayashi.

Pada panel permanen di Museum Proklamasi Jakarta Pusat, situs bersejarah tempat dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia, terdapat penjelasan rinci mengenai peran Jepang sampai menjelang 17 Agustus 1945.

Diantaranya ialah penjelasan mengenai Laksamana Maeda, saat itu Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Indonesia, mempersilahkan rumahnya dipakai sebagai tempat berkumpul bagi Sukarno, Hatta dan tokoh kunci gerakan kemerdekaan untuk mempersiapkan naskah proklamasi.

Museum itu juga menampilkan diorama perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan pada periode 1945-1950, namun didalamnya sama sekali tidak ada penjelasan mengenai keterlibatan mantan tentara Jepang yang membantu tentara Indonesia dengan strategi militer dan pelatihan senjata.

Perang melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia berakhir pada 27 Desember 1949, saat Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan menarik seluruh pasukannya dari negeri bekas jajahannya.

Sampai pertengahan 1950-an, para mantan tentara Jepang tidak memiliki kewarganegaraan yang sah, mereka dianggap sebagai pengkhianat oleh pemerintah Jepang pasca perang dan tidak diakui oleh pemerintah Indonesia.

"Pada masa itu, Saya tidak punya kewarganegaraan, Sejak 1951, Saya sudah mengajukan permintaan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, namun tidak ada tanggapan yang jelas sampai pertengahan 1950-an", ungkap Ono.

Seperti mantan tentara Jepang yang tetap tinggal, Ono yang pensiunan Letnan Satu ini akhirnya mencoba bertahan hidup dari hari ke hari.

"Saya hampir tidak punya apa-apa, Tidak punya rumah, tidak ada pekerjaan, tidak punya kewarganegaraan, Hanya para petani Indonesia saja yang memberikan Kami makan, pakaian dan tempat bernanung", ujarnya mengenang masa-masa sulit itu.

Selanjutnya, Ono mencoba berbagai pekerjaan mulai dari tukang kayu, bekerja di penggilingan beras, peternak ayam, dan akhirnya mendapat kewarganegaraan Indonesia dan pekerjaan yang lebih baik.

Pada tahun 1958, Ono juga mendapat penghargaan Bintang Veteran dan Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno, dan berhak untuk dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Dan sejak tahun 1982, pemerintah Indonesia juga mengundangnya untuk menghadiri peringatan detik-detik proklamasi di Istana Merdeka, yang menunjukkan kontribusi dan pengorbanan mantan tentara Jepang sudah mulai diakui secara luas.

Namun, masalahnya sampai saat ini peran mereka masih belum terdokumentasi dengan baik. Hayashi, yang sebelumnya datang ke Indonesia hanya untuk belajar bahasa Indonesia, mulai tertarik dengan kisah Ono saat bertemu pada tahun 2004 dan menginspirasinya untuk menulis sebuah buku.

"Di Jepang, peran mereka masih sedikit diungkapkan dan melalui buku ini, Saya bermaksud menyampaikan kepada generasi muda Jepang mengenai alasan mengapa para mantan tentara Jepang tidak kembali ke tanah airnya", papar Hayashi.

Menurut Hayashi, "Alasannya bukan karena mereka tidak diacuhkan oleh negara asal ataupun karena ingin dilihat sebagai pahlawan, tapi sebetulnya lebih dari itu".

Sekarang Rahmat Ono Shigeru telah berpulang ke pangkuannya


4. Hartono
Hartono yang mendapat bintang jasa The Order of The Rising Sun, Silver Rays pertama dari kaisar Jepang untuk tahun 2009 ini merasa sangat terkejut dan terharu atas perhatian pemerintah Jepang. "Terima kasih banyak atas perhatian Jepang terhadap apa yang saya dan teman-teman lakukan di Indonesia. Ini merupakan kejutan dan kehormatan besar bagi saya," ujar pria yang kini (2009) berusia 89 tahun tersebut.

Lebih lanjut Hartono berharap hubungan Jepang dan Indonesia semakin didominasi perasaan saling memahami. "Besar harapan saya bahwa hubungan Indonesia di masa mendatang semakin berdasar pada hubungan yang bersifat dari hati ke hati sehingga tercipta kesepahaman antara keduanya," ujar Hartono. 

Hartono dulunya merupakan tentara Jepang yang setelah masa Perang Dunia ke-2 dan proklamasi kemerdekaan Indonesia bergabung di pasukan Peta (Pembela Tanah Air) bersama 300 temannya sesama eks-tentara Jepang. Ia dan teman-temannya ikut membela Indonesia dari sisa-sisa pendudukan Belanda dalam berbagai bentuk. 

Hartono merupakan generasi pertama dari tentara Jepang yang kini hidup di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Ia telah beberapa kali menerima penghargaan baik dari pemerintah Jepang maupun Indonesia atas kiprahnya membangun hubungan persahabatan antara kedua negara melalui Yayasan Warga Persahabatan.

Umar Hartono tidak kembali ke tanah kelahirannya (Jepang), setelah kekalahan Negeri Matahari Terbit itu dalam Perang Dunia II. Dia memilih tinggal di Indonesia bersama sekitar seribuan tentara Jepang.

Mereka membantu perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan mempertahankannya ketika Belanda ingin kembali menjajah Negeri Zamrud Khatulistiwa. Umar yang kini berusia 89 tahun mengungkapkan, ada ratusan mantan tentara Jepang yang tewas demi membela Indonesia. 

Dari semua yang tewas, tersisa 107 mantan serdadu Jepang yang masih bertahan hidup dan lantas memutuskan menjadi warga negara Indonesia. ”Sekitar 3,5 tahun para mantan tentara Jepang ini berjuang bersama pasukan Pembela Tanah Air (PETA) melawan Belanda,” tuturnya. 

Umar mengungkapkan, para mantan tentara Jepang yang memutuskan menetap di Indonesia telah berpindah kewarganegaraan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dia juga menuturkan,mantan tentara Jepang ikut berjuang pada Perang Gerilya I dan II pada 1949. ”Selama 10 tahun, saya bersama teman-teman seperjuangan berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia,”paparnya. 

Setelah perang gerilya, untuk hidup sehari-hari, menurut Umar, para tentara Jepang mengalami kesulitan. 107 mantan tentara tersebut kemudian membentuk Yayasan Warga Persahabatan agar semua anggota dapat saling membantu dan bekerja sama. 

”Saya berharap, yayasan itu bukan hanya menjadi ajang kerja sama, tetapi menjadi jembatan dalam kerja sama kedua negara,”paparnya. Kini, Umar merupakan satu dari empat mantan tentara Jepang yang masih hidup dan menjadi generasi pertama kelompok tersebut. 

Dengan bangga dia menuturkan, sekitar 28 mantan serdadu ini yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. ”Kalau saya meninggal, saya juga ingin dimakamkan di Kalibata. Kalibata itu seperti Yasukuni” (tempat pemakaman pahlawan di Jepang). 

Itu merupakan suatu kehormatan bagi saya,”kata Umar. Kalau dulu, Umar berjuang membantu Indonesia dengan mengangkat senjata. Kini, dia memperjuangkan
±
 2.500 warga keturunan Jepang yang hidup dan tinggal di Indonesia. Dengan mendirikan Yayasan Warga Jepang, dia berharap dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan para warga keturunan Jepang.

”Yayasan ini memberikan beasiswa serta pendidikan bahasa Jepang kepada para warga keturunan serta masyarakat kurang mampu lain,”papar Umar. Selain itu, yayasan itu juga bertujuan mempererat hubungan persahabatan antara Indonesia dan Jepang. 

Atas perjuangan dan pengorbanan Umar, Pemerintah Jepang menganugerahkan bintang jasa The Order of the Rising Star, Silver Rays kepadanya. Apalagi Umar juga tokoh perjuangan Indonesia dan kini menjabat sebagai Penasihat Yayasan Warga Persahabatan. 

Menurut Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri, penghargaan ini diberikan kepada pria berusia 89 tahun ini atas kontribusi dalam mempererat persahabatan antara Indonesia dan Jepang. Lebih lanjut, menurut Shiojiri, Umar juga berjasa meningkatkan kesejahteraan para keturunan Jepang yang kini tinggal di Indonesia.

Menurut dia, kontribusi Umar Hartono diwujudkan melalui Yayasan Warga Persahabatan yang didirikan oleh para bekas tentara Jepang yang tidak kembali ke negaranya usai pendudukan di Indonesia.


4. Jenderal Junji Nakamura
Di Magelang, walaupun wakil RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internee) Inggris, Letkol Tull melancarkan protes, tanggal 5 Oktober 1945 Jenderal Junji Nakamura mulai menyerahkan sejumlah besar senjata kepada rakyat Indonesia, dan bahkan tanggal 6 Oktober 1945, tentara Jepang menyerahkan wewenang atas kota tersebut kepada pimpinan Republik Indonesia, dan mereka pindah ke Ambarawa untuk diinternir.

5. Jenderal Hisaichi Terauchi
Hisaichi Terauchi, inilah Jenderal Jepang yang membawahi wilayah luas di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ia jugalah yang menerima Soekarno di Saigon dalam rangka proses untuk meraih kemerdekaan RI.

Terauchi yang dilahirkan pada 1879 di Yamaguchi adalah dari golongan bangsawan, anak Marsekal Count Masakata Terauchi. Ia lulus dari Akmil tahun 1899, dan bertugas dalam perang dengan Rusia (1904 - 1905).

Ia juga pernah menjadi asisten atase militer di Wina, serta belajar ilmu kemiliteran di Jerman menjelang pecahnya Perang Dunia I. Tahun 1919 ia memperoleh gelar kebangsawanan sebagai baron, serta menjadi kepala staf Imperial Guards Divison sebelum bertugas di Korea dan Taiwan.

Terauchi pernah menjadi Menteri Urusan AS dan dikenal tidak menyukai kalangan liberal maupun kalangan politik yang ingin mencampuri AD. Sewaktu pecah perang dengan Cina, ia memimpin ofensif ke Peking (Beijing) dan sekitarnya.

Selanjutnya sejak 1941 ia diangkat sebaai Panglima Tentara Selatan yang berpusat di Saigon. Dalam posisinya ini, Terauchi menjadi direktur seluruh operasi pasukan Jepang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.


Setelah Jepang kalah, ia menyerahkan markas besarnya di Saigon, lalu mengundurkan diri ke Malaya. Ia meningggal Juni 1946 di Johor Baru karena pendarahan otak.

0 komentar:

Posting Komentar